Rabu, 19 Oktober 2011

Bahasa, Tulisan Dan Kesusteraan Orang Bugis Makassar

Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan orang Makassar bahasa Mangkasara. Kedua bahasa tersebut pernah dipelajari dan diteliti oleh seorang ahli bahasa Belanda B.F. Matthes, dengan mengambil sebagai sumber, kesusasteraan tertulis yang yang sudah dimiliki oleh orang Bugis Makassar itu sejak berabad-abad lamanya. Matthes pernah mengumpulkan banyak sekali naskah-naskah kesusasteraan dalam bentuk lontar (Lontar atau Lontara dalam bahasa Bugis, adalah buku-buku kuno yang dibuat dari daun palm kering, yang ditulisi dengan goresan alat tajam dibubuhi dengan bubuk hitam, untuk member warna kepada goresan-goresan tadi), maupun dalam bentuk buku-buku kertas. Naskah-naskah itu ada yang disimpan di perpustakaan dari yayasan Matthes di Makassar, tetapi banyak juga yang disimpan dalam perpustakaan Universitas Leiden di Negeri Belanda dan di dalam beberapa perpustakaan lain di Eropa. Matthes sendiri pernah menerbitkan beberapa bunga rampai (chrestomatie) yang memuat seleksi dari kesusasteraan Bugis-Makassar itu dan sebagai hasil dari penelitian bahasanya ia pernah menerbitkan sebuah kamus Bugis-Belanda dan sebuah kamus Makassar-Belanda yang tebal-tebal. Huruf yang dipakai dalam naskah-naskah Bugis-Makassar kuno adalah aksara Lontara, sebuah sistem huruf yang asal dari huruf Sanskerta. Katanya dalam abad ke-16, sistem aksara lontara itu disederhanakan oleh syahbandar kerajaan Goa, Daeng Pamatte dan dalam naskah-naskah sejak zaman itu, sistem Daeng Pamatte itulah yang dipakai. Sejak permulaan abad ke-17 waktu agama Islam dan kesusasteraan Islam mulai mempengaruhi Sulawesi Selatan, maka kesusasteraan Bugis-Makassar ditulis dalam huruf Arab yang disebut aksara Serang (menurut dugaan kata serang asal dari Seram. Dulu katanya orang muslimin Bugis pada mula-mulanya banyak hubungan dengan orang Seram yang lebih dahulu menerima agama Islam. Di Seram sendiri memang huruf Islam itulah yang biasanya dipakai sebagai tulisan dalam hubungan dengan penyebaran agama Islam). Adapun naskah-naskah kuno yang ditulis di daun lontar sekarang sudah sukar untuk didapat. Sekarang naskah-naskah kuno dari orang Bugis-Makassar hanya tinggal ada yang ditulis di atas kertas dengan pena atau lidi ijuk (kallang) dalam aksara lontara atau dalam aksara serang. Diantara buku terpenting dalam kesusasteraan Bugis dan Makassar adalah buku Sure Galigo, suatu himpunan amat besar dari mitologi yang bagi banyak orang Bugis dan Makassar masih mempunyai nilai yang keramat. Kecuali itu ada juga lain-lain himpunan kesusasteraan yang isinya mempunyai fungsi sebagai pedoman dan tatakelakuan bagi kehidupan orang, seperti misalnya buku himpunan amanat-amanat dari nenek moyang (Paseng), buku himpunan undang-undang, peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan pemimpin-pemimpin adat (Rapang) dan sebagainya. Kemudian ada juga himpunan-himpunan kesusasteraan yang mengandung bahan sejarah, seperti silsilah raja-raja (Attoriolong) dan cerita-cerita pahlawan yang sungguhpun pernah ada tetapi yang dibubuhi sifat-sifat legendaris (Pau-pau). Akhirnya ada juga banyak buku-buku yang mengandung dongeng-dongeng rakyat ( seperti roman, cerita-cerita lucu, cerita-cerita binatang yang berlaku seperti manusia dan sebagainya), buku-buku yang mengandung catatan-catatan tentang ilmu gaib (kotika) dan buku-buku yang berisi syair, nyanyian-nyanyian, teka-teki dan sebagainya. (sumber: Mattulada, “Kebudayaan Bugis-Makassar” Universitas Hasanuddin).